Pada tahun 1900 semasa Tanah Air kita Indonesia dalam tangan penjajahan Belanda datanglah sekelompok orang dari lowu yang sekarang di sebut kelurahan dengan maksud hendak berkebun. Di samping itu pula datang lagi sekelompok orang dari Tosuraya dengan maksud yang sama. Mereka datang ke lokasi di bawah pimpinan orang-orang tua yaitu Bapak Lodewyk Rolos, Sandokh Pandaleke dan Willem Sigar.
Mereka segara mendirikan “Dasing-Dasing” (tempat tinggal sementara) selama mereka malaksanakan tugas berkebun. Beberapa bulan kemudian timbulah pemikiran orang- orang tua itu, bahwa alangkah baik nya tempat ini dijadikan kampong. Alasan mereka ialah tempat ini dekat dengan air (sungai lahendong). Ketiga orang tua itu berembug akhirnya sepakat dan menamai kampong/desa ini Rasi. Kata ini berasal dari kata “Dasing”. Kata “Dasing” dalam Bahasa ratahan waktu itu ialah “Ndasing” kemudian berubah mnjadi “Ndasi” dan akhirnya menemakan “Rasi”. Dan menurut adat pemberian nama bagi suatu kampong/desa harus dintanyakan lagi pada burung manguni. Cara ini dalam istilah bahasa Ratahan di sebut “PAKIMANUK”. Hal itu mereka telah laksanakan di suatu tempat yang benama “WATUPAL” yang letaknya di sebalah tenggara kira-kira 1 KM dari desa. Ternyata nama desa yang berasal dari kata “DASING” mendapat sambutan positif dari burung manguni itu. Jadi itulah sebabnya nama Rasi itu tetap ada sampai kini.
Namun pada akhir 1900 banyak orang yang kembali ke desa-desa semula yakni Lowu dan Tosuraya karena ditimpa bala penyakit bahkan ada yang meninggal. Nanti pada tuhun
1901 datang lagi orang-orang dari desa-desa tersebut di bawah pimpinan bapak Salmon Ohy. Mereka datang atas perintah Hukum Tua Besar Tambayong dari Ratahan. (hukum besar identik saat sekarang degan camat).